Minggu, 26 Oktober 2014

Enam dari 34 Kabinet Kerja Presiden Jokowi , adalah Kader dan Aktifis NU


Resmi Sudah , Sebanyak 34 anggota Kabinet Kerja Jokowi Diumumkan Presiden Joko Widodo. Dari nama-nama itu, enam diantaranya adalah Kader ASWAJA , Aktifis NU yang tidak diragukan. Ke enam Menteri NU ini adalah. Lukman Hakim, Khofifah Indar Parawansa, M Nasir, Hanif Dhakiri, Marwan Ja'far dan Imam Nahrowi.


             
Presiden Jokowi, Wapres Yusuf Kalla berserta Jajaran Kabinet Kerja. foto: merdeka.com

Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi para kabinetnya, dengan nama _Kabinet Kerja, hari Minggu sore. Susunan Kabinet Jokowi ini kebanyakan wajah baru dan banyak wajah-wajah muda. Mudah-mudahan Kabinet baru ini, bisa benar-benar membawa Indonesia hebat ke depan.

Pengumuman disampaikan Jokowi yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla di halaman istana kepresidenan. Hadir juga Ibu Negara Iriana Widodo dan Mufida Kalla. Mereka kompak mengenakan kebaya dengan atasan berwarna putih.

"Kabinet ini saya namakan kabinet Kerja," kata Presiden Jokowi.

Berikut susunan lengkap menteri-menteri Kabinet Kerja Jokowi-Kalla, seperti dilaporkan merdeka.com :

1. Menteri Sekretaris Negara Pratikno
2. Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago
3. Menko bidang Kemaritiman Indroyono Susilo
4. Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti
5. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan
6. Menteri Pariwisata Arief Yahya
7. Menteri ESDM Sudirman Said
8. Menko Politik Hukum dan Keamanan Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno
9. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
10. Menteri Luar Negeri Retno Priansari Marsudi
11. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
12. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly
13. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara
14. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi
15. Menko Perekonomian Sofyan Djalil
16. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
17. Menteri BUMN Rini Soemarno
18. Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gusti Ngurah Puspayoga
19. Menteri Perindustrian Saleh Husin
20. Menteri Perdagangan Rahmat Gobel
21. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman
22. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri
23. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono
24. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya
25. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan
26. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani
27. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
28. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek
29. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
30. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise
31. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan
32. Menteri Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Muhammad Nasir
33. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi
34. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar ###

Selasa, 21 Oktober 2014

NU Mendukung Pemerintahan JOKOWI-JK

KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, menegaskan dukungannya terhadap Pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Jokowi -Jusuf Kalla. Karena menurutnya Jokowi-JK adalah Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih secara sah melalui proses pemilu di negeri ini. Namun demikian dukungan NU sekaligus juga akan ikut mengawal dan mengkritisi program-program pemerintah.

"Jadi NU akan selalu berada di belakang pemerintahan yang sah. Dan bersmaan dengan ini NU akan ikut mengawal program-program pemerintah yang pro rakyat", kata KH. Said Aqil di Gedung PBNU, seperti dilansir NU Online, usai menghadiri pelantikan presiden Jokowi.

Menanggapi pidato Presiden Jokowi pada acara pelantikannya, KH. Said menyatakan salut atas pernyataan Jokowi yang dengan besar hati mengatakan, bahwa Prbaowo dan Hatta Rajasa sebagai rekan dan sahabt baiknya. Di saat yang bersamaan KH. Said juga memuji kehadiran Prabowo-Hatta Rajasa dalam acara tersebut. 

"Ini adalah contoh berdemokrasi yang sangat baik dan akan ditiru oleh masyarakat Indonesia secara luas. Saya bangga menyaksikan itu semua", kata KH. Said Aqil.

“Dan kita lihat, usai menyatakan hal itu, Pak Jokowi mendapatkan applaus yang cukup lama dari para hadirin,” kata KH. Said Aqil.

Dikatakannya, para pemimpin negeri ini telah menunjukkan contoh yang baik kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga transisi kepemimpinan nasional berlangsung aman dan damai.

KH Said Aqil Siroj juga menyampaikan penghargaan kepada Presiden ke-6 Susilo Bambang Yuhoyono (SBY) yang telah mengawal proses transisi demokrasi Indonesia dengan cukup baik.

“Pak SBY luar biasa, selaina meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen, beliau juga telah mengawal demokrasi di Indonesia sehingga berwibawa di tingkat internasional. Tidak ada nyawa melayang dalam proses pergantian kepemimpinan,” kata Kyai yang akrab disapa Kang Said ini.

Terkait isi pidato pertama presiden Jokowi yang disampaikan sesaat setelah pelantikan, Said Aqil mengaku tertarik dengan pernyataan yang eksplisit menyebut profesi nelayan, buruh, petani, para pedagang pasar, para pedagang asongan, dan sopir. “Kita berharap Pak Jokowi merealisasikan janji-janjinya selama kampanye,” katanya.

Dalam pidatonya Jokowi juga menegaskan posisi Indonesia sebagai negara maritim. Seperti Presiden ke-4 RI KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), Jokowi juga bertekad mengembalikan kejayaan di laut. ‘Jalesveva Jayamahe'. “Perlu diingat Gus Dur yang merintis Departemen Kelautan,” kata Kang Said. ###

Sabtu, 18 Oktober 2014

GP ANSOR ACEH SIAP SELENGGARAKAN KONGGRES NASIONAL 2016


           


Tahun 2016 nanti GP Ansor Pusat akan mengadakan Konggres Nasional untuk memilih Pimpinan Baru GP Ansor. Sejumlah wilayah menyatakan kesiapanya untuk perhelatan besar di tubuh lembaga yang kini dipimpin oleh Nusron Wahid. Salah satunya adalah GP Ansor Wilayah Aceh yang sudah menyatakan kesiapannya. Jika benar akan diadakan di Aceh, maka ini adalah sejarah baru dan yang pertama di bumi tanah rencong. 

"Saya pikir ini bisa menjadi momentum istimewa bagi Aceh. Belum pernah dalam sejarah Ansor dan Nahdlatul Ulama, acara-acara besar digelar di Aceh. Padahal secara historis, kependudukan, dan geografis, Aceh merupakan pusat pergerakan Ahlussunah wal Jamaah. Persoalannya belum terorganisir dengan baik,” kata Samsul Ibrahim, Ketua GP Ansor Aceh, di Purwakarta, pertengahan Oktober kemarin. Ia menyampaikannya dalam acara Konbes GP Ansor XIX di Purwakarta, Jawa Barat.

“Di lain hal, ini adalah pertaruhan Aceh di kancah nasional karena biasanya Presiden Indonesia akan hadir membuka acara tersebut. Dan kesempatan ini juga dapat menjadi momentum untuk mempromosikan Aceh sebagai daerah yang aman baik untuk kunjungan kerja, wisata, maupun investasi. Kami yakin Pemerintah Aceh akan mendukung kegiatan ini,” tambahnya lagi.
Diakui Samsul, proses legitimasi penunjukkan Aceh sebagai tuan rumah memang tidak mudah. Dalam konferensi besar itu sendiri, sedikitnya lima provinsi lain juga ikut menawarkan diri sebagai tuan rumah. Kelima daerah tersebut yakni Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.

Penunjukkan tuan rumah pastinya ditentukan oleh indikator-indikator tertentu yang akan ditetapkan oleh PP GP Ansor. Indikator tersebut tidak saja berupa kesiapan PW Ansor Aceh dan ke-23 Pengurus Cabang GP Ansor Aceh, melainkan juga dukungan infrastruktur, transportasi, dan yang paling penting adalah dukungan masyarakat dan Pemerintah Aceh sendiri. Ditambahkannya lagi, pelaksanaan Kongres GP Ansor merupakan acara yang sangat besar. Sedikitnya saja, 10.000 warga Nahdliyin bakal terlibat. Artinya jika Aceh ditetapkan sebagai tuan rumah, kunjungan pendatang sebesar itu akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Aceh.

Tidak hanya itu, Samsul menyebutkan pelaksanaan Kongres GP Ansor selalu dihadiri oleh pejabat Pemerintah Pusat. Kongres GP Ansor selalu dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden. “Bahkan pihak kementerian dan kedutaan besar juga akan hadir. Jadi sangat bagus bagi Aceh. 10.000 pengunjung itu tidak sedikit lho dan mereka akan berada di Aceh selama satu minggu,” kata Samsul seperti dikutip NU Online.

Merespon hal itu, Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, M Aqil Irham membenarkan pihaknya akan menentukan indicator-indikator tertentu untuk memilih tuan rumah Kongres Ansor pada 2016 nanti. Dalam konferensi besar itu sendiri, beberapa indicator-indikator penentuan tuan rumah sudah dibicarakan.
Sebut saja misalnya seperti kesiapan struktur pengurus wilayah hingga level ranting dan anak cabang. “Termasuk dukungan dana dari pemerintah daerah, karena sifat pendanaan kegiatan ini komposisinya 40 persen dari tuan rumah dan 60 persen dari pusat sendiri,” katanya. Dia berharap, para Ketua PW Ansor yang sudah mengusulkan diri sebagai tuan rumah dapat mengajukan proposal pengajuan tuan rumah secara tertulis dalam waktu dekat. “Paling tidak sampai Januari 2015. Nanti akan kita verifikasi kelayakannya,” tukas Aqil.

Berkaitan dengan tawaran Aceh sebagai tuan rumah, seluruh PW Ansor se-Sumatera dalam Konferensi Besar Ansor di Purwakarta memberikan apresiasi yang tinggi. Ketua PW Ansor Sumatera Barat Rusli Intan Sati menyebutkan tawaran Samsul dinilai sebagai masukan yang konstruktif dalam mengonsolidasi warga Nahdliyin di Sumatera. Selain itu, sejarah Aceh sebagai daerah yang telah berkontribusi besar dalam pembangunan Indonesia mulai dari era penjajahan hingga reformasi patut menjadi perhatian semua pihak.
“Kami sepakat dengan tawaran itu. Aceh merupakan bagian dari NKRI yang harus dikawal dengan baik. GP Ansor harus mampu menancapkan merah putih di titik nol kilometer Indonesia. Jadi, Kongres Ansor pada April 2016 nanti bakal jadi momentum yang tepat,” ujar Rusli Intan Sati, Ketua PW Ansor Sumatera Barat.

Selain Sumatera Barat, Ketua PW Ansor Kepulauan Riau Baru Rochim juga menyambut baik tawaran Sahabat Samsul. Pelaksanaan Kongres pada 2016 nanti harus menjadi momentum untuk mendukung optimalisasi konsolidasi warga Nahdliyin, khususnya di daerah-daerah di Sumatera. Lagipula di lain hal, dia melihat pasca musibah gempa dan tsunami, proses pembangunan di Aceh menunjukkan trend yang cukup positif. Dari segi infrastruktur, Aceh dinilai mengalami kemajuan yang cukup pesat. Ketersedian transportasi udara berskala internasional, lintasan jalur darat yang memadai dan penginapan yang layak cukup menjadi alasan mengapa Aceh tepat menjadi tuan rumah Kongres Ansor. “Kami mendukung sepenuhnya Aceh sebagai tuan rumah Kongres Ansor pada 2016 nanti,” tandasnya.

Untuk diketahui, Selain Sumatera Barat dan Kepulaian Riau, sejumlah PW Ansor lainnya seperti Riau, Bangka Belitung, dan Bengkulu juga merekomendaskan Aceh sebagai tuan rumah. Mereka berharap PP GP Ansor dapat mengamini aspirasi tersebut. ###

Sejarah Berdarah Salafy Wahaby (Buku yang Wajib Dibaca Oleh setiap Kader NU)


BUKU ini sudah cukup lama terbit dan sangat laris dipasaran, karna mampu mengungkap banyak sejarah kekerasan kaum wahaby yang selama ini tersimpan. Karna sangat pentingnya untuk diketahui oleh generasi muda NU, maka tidak ada salahnya saya ingatkan kembali untuk membacanya. Bagi yang baru mengetahui, segeralah cari di toko buku terdekat. Mengapa penting ?,  karna para penganut aliran salafi wahaby sekarang sudah bertebaran di pelosok Indonesia dengan ciri khas ajarannya: Suka Membid'ahkan (tabdi'), Memusrikan (tasrik) dan Mengkafirkan (Tafkiri) ajaran-ajaran Aswaja. Gerakan mereka telah banyak merusak jalinan ukuwah Islamiyah di Tanah Air tercinta ini. Jika dibiarkan maka sangat membahayakan keutuhan NKRI.


Berikut ini adalah sekilas resensi buku tersebut, seperti yang ditulis oleh NU Online. __________ :


Judul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis: Syaikh Idahram
Tebal: 278 hlm
Ukuran: 13,5 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-8995-00-9
Terbit: Cetakan I, 2011
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta.
Peresensi: M. Ajie Najmuddin*

KH Said Agil Siroj, dalam kata pengantar beliau di buku ini mengungkapkan bahwa kemunculan Salafi Wahabi di abad ke-18 M meskipun tidak termasuk ke dalam golongan Khawarij, tetapi antara keduanya, ada beberapa kesamaan. Kelompok Wahabi, seperti hendak mengulangi sejarah kekejaman kaum Khawarij, yang muncul jauh sebelumnya pada tahun ke-37 Hijriah, tatkala melakukan pembongkaran tempat-tempat bersejarah Islam dengan dalih memerangi kemusyrikan. Tak cukup dengan tindakan itu, mereka bahkan tak segan untuk membantai terhadap sesama umat muslim sendiri, bahkan para ulama yang tidak sejalan dengan pemikiran (sempit) mereka.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok–kelompok ekstrim tersebut secara langsung telah mencoreng nama Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kerusakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77). Apa yang dipaparkan dalam buku ini, tentang sejarah tindakan ‘merusak’ yang dilakukan oleh kelompok Salafi Wahabi ini tidak boleh kita lupakan dan mesti kita waspadai.

Lantas siapakah sebenarnya kelompok Salafi Wahabi yang dimaksud dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini? Penulis buku, Syaikh Idahram, menjelaskan bahwa nama wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahab, yang lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Adapun kata Salafi, berasal dari kata as-salaf yang secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun secara terminologis, as-salaf adalah generasi yang dimulai dari para sahabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. Mereka adalah generasi yang disebut Nabi Saw sebagai generasi terbaik.

Namun demikian, penggunaan istilah Salafi tersebut oleh sebagian kelompok Islam tertentu dijadikan propaganda. Mereka melakukan klaim dan mengaku sebagai satu-satunya kelompoksalaf. Ironisnya, mereka kemudian menyalahkan dan bahkan mengkafirkan muslim lain yang amalannya ‘tidak sesuai’ dengan paham yang mereka anut. Mereka menganggap sesat terhadap umat muslim lain, yang dianggap melakukan perbuatan bid’ah, semisal ziarah kubur mereka tuduh sebagai perbuatan syirik.

Lebih dari itu, sederet data dan fakta penyimpangan serta rentetan sejarah pembunuhan yang terpapar dalam buku ini, menyisakan sejumlah pertanyaan, apakah tindakan mereka tidak menyalahi ajaran Islam sebagai “rahmat bagi semesta alam”?

Kita pasti akan miris, ketika membaca tulisan tentang sejumlah tindakan kelompok Wahabi yang melakukan banyak pembantaian terhadap umat Islam serta ulamanya. Seperti yang mereka lakukan tatkala menyerang kota Thaif, Uyainah, Ahsaa, bahkan Makkah dan Madinah, juga tak luput dari sasaran keganasan mereka. Sayid Ja’far Al-Barzanji dalam salah satu bukunya menuturkan, ketika Wahabi menguasai Madinah, mereka merusak rumah Nabi saw, menghancurkan kubah para sahabat, dan setelah melakukan perusakan tersebut mereka meninggalkan Kota Madinah dalam keadaan sepi selama beberapa hari tanpa azan, iqamah, dan shalat.

Apabila ditelisik lebih dalam setidaknya ada dua faktor penyebab kemunculan kelompok seperti Wahabi. Pertama, pada dasarnya kemunculan mereka bermula dari sejarah pertarungan pengaruh dan kekuasaan (politik). Muhammad bin Abdul Wahab yang terusir dari kaumnya, kembali mendapat angin segar ketika bertemu dengan penguasa Dir’iyah, Muhammad ibnu Saud. Ajaran Wahabi akan terlindungi manakala bernaung dalam kekuatan penguasa, di sisi lain kekuasaan akan semakin menancapkan kukunya tatkala mendapat legitimasi ajaran agama. Jadi perjuangan Wahabi bersama ibnu Saud, bisa dikatakan tak lebih hanya pertarungan perebutan kekuasaan yang berkedok agama.

Faktor lain yang mendasari tindakan ekstrim mereka, diantaranya juga karena pemahaman mereka yang kaku dalam memahami teks-teks agama (tekstual), sehingga cenderung terjerumud dalam memahaminya. Misalnya, mereka sangat kaku dalam memahami perintah-perintah Rasulullah saw. Paradigma ini yang kemudian menyebabkan mereka dengan mudahnya menyalahkan dan mengkafirkan umat muslim lain.

Penulisan buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini adalah untuk menjelaskan semua itu secara ilmiah, dengan bukti yang kuat baik secara aqli dan naqli. Buku ini menyingkap hal-hal penting dibalik wabah takfir (pengkafiran),tasyrik (pemusyrikan), tabdi' (pembid'ahan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama ahlussunnah wal jama'ah yang marak menjamur akhir-akhir ini. Semuanya disuguhkan secara sistematis namun ringan. Buku ini tidak hendak bertujuan untuk memecah belah persatuan umat Islam, tetapi lebih merupakan sebuah upaya untuk mengingatkan akan bahaya dan menyadarkan umat dari paham-paham ekstrim tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar, semestinya memberikan perhatian tegas dan serius dalam upaya untuk mencegah dan menghentikan pengaruh pemahaman yang dapat mengarah pada tindakan terorisme dan eksklusivisme semacam ini, yang pada akhirnya dapat mengancam persatuan umat. Dalam salah satu komentar para tokoh tentang keberadaan buku ini, ketua MUI, KH Ma’ruf Amin menegaskan, “Dengan membaca buku ini diharapkan seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih sayangnya,lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan”.

Dan memang bagi para pembaca dari kalangan luar Wahabi, buku ini dapat memberikan informasi yang cukup, sehingga dapat mengetahui bahaya pengaruh serta mengetahui ciri paham ekstrim. Sedangkan bagi para simpatisan wahabi, buku ini juga dapat menjadi sumber informasi yang jelas, sehingga mereka akhirnya tahu dan sadar akan sejarah paham yang mereka anut. Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Allah Swt untuk senantiasa tetap menuju ke jalan yang lurus dan benar. ###

Lebih Dekat Dengan Dr. JALALUDIN RAHMAT (Kang Jalal) , Pemuda NU yang Kemudian Menggeluti Tasawuf dan Syiah




Ketika saya kuliah dulu pada era 1990-an, nama Jalaludin Rahmat sangatlah populer sebagai Cendekiawan muslim dengan pemikiran yang mencerahkan. Ia menjadi pembicara tentang ke-Islaman yang sangat laris. Pemikirannya mencerahkan dan dirasa tepat dengan alam Indonesia yang plural. 

Berikut ini adalah tulisan panjang yang diturunkan oleh BBC Indonesia  tentang seputar gerakan dan pemikiran Jalaludin Rahmat dalam Islam , hingga kemudian Ia menyatakan diri masuk di wilayah tasawuf dan syiah. 
________________________ :

Tumbuh dalam keluarga Islam tradisional, Jalaluddin Rakhmat sempat aktif di Muhammadiyah, sebelum terjun total ke tasawuf dan akhirnya menganut Islam Syiah.

Pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an, namanya selalu dilekatkan dengan mazhab Islam Syiah, sehingga dia pernah 'diadili' oleh sebagian ulama Sunni di Bandung dan dilarang berceramah di wilayah itu, tetapi dia selalu menolak disebut penganut Syiah, saat itu.

Pria kelahiran 29 Agustus 1949 ini juga dikenal karena aktivitasnya pada kajian tasawuf - yang mampu menjaring kalangan perkotaan, serta sering disebut sebagai salah-seorang cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka.

Dialah Jalaluddin Rakhmat, yang seiring keterbukaan politik, persisnya saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, akhirnya secara terbuka mengaku sebagai penganut Islam Syiah.

"Secara fikih dan akidah, saya sekarang Syiah," kata Jalaluddin Rakhmat dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Jakarta, di sebuah pagi pada pertengahan Juli 2013 lalu.

Lebih dari itu, Kang Jalal -begitu sapaan akrabnya- kemudian membidani dan memimpin salah-satu organisasi resmi kaum Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, pada awal Juli 2000.

Namun demikian, Doktor ilmu politik lulusan Australian National University ini selalu berikhtiar mendekatkan kedua mazhab Islam, yaitu Sunni dan Syiah, dari apa yang disebutnya sebagai "kesalahpahaman yang sudah berumur lebih
dari seribu tahun."Jalaluddin Rakhmat mengaku lebih mengedepankan tasawufketimbang fikih.


Salah-satu puncak upayanya itu adalah mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu.

Ayah dari lima anak ini juga rajin menyuarakan agar kaum Syiah di Indonesia tidak menutup diri.

"Misalnya di Ijabi (organisasi yang menaungi kaum Syiah di Indonesia), kita minta orang-orang ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," jelas penulis lebih dari 45 buku ini.

Lantas, bagaimana awalnya penulis buku Islam Aktual (1994) dan Psikologi Komunikasi (1994) ini akhirnya menganut Islam Syiah, walaupun sebelumnya dia mengaku dibesarkan dalam tradisi NU dan sempat mencicipi ajaran Muhammadiyah?

"Dalam tasawuf, bukan hanya seluruh mazhab, tetapi seluruh agama di dunia bertemu," aku Jalaluddin, yang mengaku menganut Syiah melalui 'jalan' tasawuf.

Dan, bagaimana tanggapannya terhadap anggapan masyarakat bahwa sebagian warga Syiah di Indonesia bersikap eksklusif?

Dan, apa tawarannya dalam penyelesaian damai konflik antara penganut Syiah di Sampang, Madura, dengan kelompok penentangnya?

Serta, apa jawaban Jalaluddin Rakhmat soal karakteristik Islam Syiah di Iran dan Indonesia?


Konflik Syiah di Sampang

Ketika kelompok umat Islam Syiah di Sampang, Madura, diserang dan diusir dari kampungnya oleh kelompok penentangnya pada Agustus 2012, Jalaluddin Rakhmat termasuk yang menentangnya habis-habisan.

Dia mengatakan, kasus kekerasan ini membuktikan bahwa kaum Syiah di Indonesia masih mengalami diskriminasi.

"Jangan sampai terjadi, misalnya, Syiah itu dipersekusi dan pemerintah (Indonesia) membiarkannya," kata Jalaluddin, menanggapi peristiwa Sampang, dengan mimik serius.

"Ini menjadi preseden buruk buat konflik-konflik sosial berikutnya, kalau pemerintah, misalnya, memihak satu kelompok saja di atas kelompok lainnya," tegasnya.

Namun demikian, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan Juli 2013 lalu, menyatakan akan turun-tangan untuk memimpin langsung upaya rekonsiliasi antara warga Syiah di Sampang dengan penentangnya, pendiri Yayasan Muthahari (1988) ini mengaku "sangat gembira".

"Saya harus memberikan apresiasi kepada beliau, karena untuk pertama kalinya peristiwa konflik sosial keagamaan ditangani langsung oleh presiden," katanya.


Ini menjadi preseden buruk buat konflik-konflik sosial berikutnya, kalau pemerintah, misalnya, memihak satu kelompok saja di atas kelompok lainnya.

Saat ini, sekitar 200 orang warga Syiah Sampang masih ditempatkan di rumah susun di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, setelah sebelumnya hampir setahun mengungsi di Gedung olah raga Sampang, Madura.

Mereka kini berharap dapat kembali ke kampungnya, yang menjadi salah-satu opsi dalam rekonsiliasi yang dimediasi oleh para intelektual dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pimpinan ormas Islam, serta tokoh ulama dan kiai di Madura.

Jalaluddin mengaku, sejak awal dia meminta agar rekonsiliasi ini melibatkan pemerintah pusat, karena memiliki "kekuatan memaksakan keputusannya".

"Kalau kita hanya rekonsiliasi hanya di bawah (di antara masyarakat) saja, bisa jadi perundingan-perundingan itu akan dibatalkan oleh kejadian-kejadian tertentu," tandas dosen di sejumlah perguruan tinggi ini.


Konsep rekonsiliasi

Dia juga menekankan, keterlibatan pemerintah di dalam upaya rekonsiliasi ini, dapat mengembalikan warga Syiah itu kembali ke kampungnya di Sampang.

"Serta perlahan-lahan secara sosial membangun hubungan dengan ulama di Sampang... sehingga dapat mengakhiri kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah " paparnya.

Persoalan kesalahpahaman Sunni-Syiah ini ditekankannya, karena menurutnya, konflik di Sampang "tidak murni persoalan agama dan perbedaan mazhab.

"Di baliknya itu ada alasan-alasan politik dan ekonomis, atau bisa jadi alasan sosial, misalnya konflik diantara keluarga," katanya.

Dia menganalisa, ada beberapa kelompok elit di Sampang yang memiliki kepentingan tertentu dengan terus membangkitkan persoalan Sunni-Syiah.

Padahal, sambungnya, "Buat orang-orang awam, mereka hidup damai diantara sesamanya, bahkan yang ikut (mengungsi) ke Gedung olah raga Sampang, tidak semuanya Syiah."


Ya, ada beberapa keinginan mereka harus dipenuhi, misalnya, mereka mempersilakan warga Syiah untuk kembali (ke Sampang), tapi tokoh-tokohnya tidak balik. Mungkin ini bisa kita tolerir.

Di hadapkan persoalan seperti ini, Jalaluddin menawarkan agar dialog antara warga Sunni dan Syiah terus dilakukan.

Namun demikian, upaya perundingan untuk mencapai perdamaian di Sampang, tidak terlepas dari keniscayaan win-win solution, kata Jalaluddin.

"Ya, ada beberapa keinginan mereka harus dipenuhi, misalnya, mereka mempersilakan warga Syiah untuk kembali (ke Sampang), tapi tokoh-tokohnya tidak balik. Mungkin ini bisa kita tolerir," katanya.

"Artinya negara bisa memindahkan tokoh (Syiah Sampang) ke tempat lain dan memberi jaminan, hanya untuk menghindari konflik," jelasnya.

"Ini bukan zero sum game, tapi masing-masing pihak bersedia untuk mengalah," kata Jalaluddin, dengan nada tegas.



Saling mengkafirkan

Dilatari berbagai latar belakang, konflik antara warga Sunni dan Syiah belakangan melanda beberapa negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, tidak terkecuali di Indonesia.

Jalaluddin Rakhmat menganalisa, konflik seperti ini tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai akibat kemunculan "gerakan takfiri, yaitu gerakan mengkafirkan kelompok-kelompok Islam yang lain".Gerakan Takfiri, menurut Jalaluddin Rakhmat, menganggap dirinya paling benar.

Menurutnya, gerakan seperti ini selalu mengklaim "hanya kelompok dia sajalah yang benar".

Dalam kenyataannya, lanjutnya, mazhab-mazhab di dalam Islam sudah tumbuh sejak lama, dan bahkan usia mazhab Syiah dan Sunni sudah sepanjang sejarah Islam, yaitu lebih dari 1400 tahun.

"Kadang-kadang terjadi konflik sosial di antara mereka, tetapi lebih sering mereka (penganut Sunni dan Syiah) hidup berdampingan selama berabad-abad," ujar Jalaluddin, yang pernah menjadi staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung.


Dari asalnya takfir, berkembang kemudian saling mengkafirkan. Dan, itu yang merupakan bibit konflik di antara berbagai mazhab dalam Islam.

"Di Irak, misalnya, Sunni dan Syiah hidup bersama. Ada sebuah jalan di Baghdad yang memisahkan satu perkampungan Sunni dan Syiah, dan diantara mereka saling berkunjung dan saling mengawini, tanpa problum apa-apa secara sosial," jelasnya.

"Sampai kemudian," lanjut Jalaluddin, "munculnya gerakan takfiri, yang secara gencar menganggap Syiah itu kafir, juga kelompok-kelompok tasawuf juga itu kafir, kelompok mayoritas Muslimin yang ziarah di kubur, juga dianggap kafir".

"Nah, gerakan ini memecah belah kaum Muslimin," katanya. "Karena setiap ada aksi, 'kan timbul juga reaksi".

"Dari asalnya takfir, berkembang kemudian saling mengkafirkan. Dan, itu yang merupakan bibit konflik di antara berbagai mazhab dalam Islam," ujarnya, seraya menambahkan bahwa bibit konflik itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik.



Utamakan akhlak, bukan fikih

Jadi, langkah seperti apa yang harus dilakukan para elit atau pemimpin agama Islam, ketika dihadapkan kenyataan seperti itu? Tanya saya.

Jalaluddin memberikan jawaban, dengan memberikan contoh apa yang telah dia lakukan: "Saya misalnya memberikan buku petunjuk yang bisa dilakukan para tokoh-tokoh agama Islam, yang saya tulis dengan judul 'Dahulukan akhlak di atas fikih'.

Semenjak mendalami tasawuf di tahun 80-an, Kang Jalal mengaku cenderung memilih tasawuf, dan bukan fikih (hukum Islam), sebagai materi dakwahnya.

Ada beberapa alasan yang melatari dia memilih jalan tawasuf, di antaranya: fikih dianggapnya tidak memberikan kehangatan dalam beragama, serta fikih sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam, kata Jalaluddin dalam berbagai kesempatan.

"Biasanya perbedaan-perbedaan antar mazhab itu terletak pada perbedaan fikih, itu yang selalu ditonjolkan," ungkapnya kepada saya.


Misalnya di Ijabi, kita minta orang-orang Ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu.

Berangkat dari pijakan itulah, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamah Ahlul Bait Indonesia, Ijabi, ini meminta "agar ulama di antara berbagai mazhab, dalam pergaulan sesama, meninggalkan aspek fikihnya saja dan menyesuaikannya dengan fikih yang lain".

"Misalnya di Ijabi, kita minta orang-orang Ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," tegasnya.

Menurutnya, saat ini yang lebih penting, bagaimana para pemimpin mazhab "bisa di dataran yang sama, yaitu di dataran akhlak".

"Mari kita jadikan Islam ini agama untuk memuliakan akhlak (berbuat baik)," kata Jalaluddin Rakhmat.


Mendalami tasawuf

Dalam berbagai kesempatan, Jalaluddin mengaku dibesarkan dalam keluargaNahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah.

"Ketika muda, saya memang dibesarkan dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang Muhammadiyah," ungkapnya, mulai bercerita.

Ketika aktif di Muhammadiyah, Jalaluddin mengikuti gerakan-gerakan "yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini".

Namun demikian, Jalaluddin muda mengaku berulangkali kecewa, karena "di berbagai negara Islam, tidak ada yang berhasil mendirikan Syariat Islam".


Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa.

Di tengah situasi seperti itulah, Jalaluddin mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979, yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran.

"Tiba-tiba saya melihat para ulama di Iran menang.Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam?Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa," jelasnya.

Dalam perjalanannya, dia kemudian berangkat ke Iran, persisnya ke kota Qum, untuk belajar tasawuf. "Saya tidak belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum."

"Dan ternyata," ungkapnya dengan mata berbinar, "di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf".


Mengapa menjadi Syiah

Kembali dari Iran, Jalaluddin -yang di masa mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda - mendirikan yayasan tasawuf.

"Dalam tasawuf, seluruh agama bertemu, bukan hanya seluruh mazhab Islam," katanya.

Menurutnya, dalam ranah tawasuf atau mistisisme, semua penganut agama akan mengatakan 'kayaknya kita saling mengenal, kayaknya kita adalah bagian dari keluarga besar, yang menegakkan agama atas dasar cinta'.

Kepada saya, Jalaluddin menekankan bahwa "saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah," tegasnya.


Saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah.

"Jadi arah saya dari dulu, kepada persatuan kelompok Sunni dan Syiah," katanya lagi. Belakangan, persisnya pada Mei 2011 lalu, Jalaluddin dan beberapa orang mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu, untuk mendekatkan dua mazhab Islam tersebut.

Namun demikian, ketika mempelajari dan mendalami dunia tasawuf itulah, Jalaluddin mengatakan: "Karena Syiah di sini minoritas, saya tentu berusaha mengenalkan Syiah ini, tidak seperti yang mereka tuduhkan".

Di ujung perjalanannya, Kang Jalal yang pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya sampai pada satu titik: "Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang ini Syiah".



Hubungan dengan Iran

Pada tahun 80-an, persisnya setelah Revolusi Islam Iran (1979), beredar informasi yang menyebar pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pemerintah Iran akan melakukan "ekspor revolusi".

Walaupun tidak pernah terbukti, informasi seperti ini tidak pernah lenyap sepenuhnya. Dalam kadar dan tekanan yang berbeda, saat ini, tidak pelak lagi, sebagian publik melihat mazhab Islam Syiah di Indonesia identik dengan wajah kekuasaan politik di Iran.

Cara pandang umum seperti inilah yang saya tanyakan kepada Jalaluddin Rakhmat.

"Apakah Syiah di Indonesia akan sama dengan Syiah Iran dengan negara Islamnya, sementara Indonesia bukanlah negara agama?" Tanya saya.

"Tidak mungkin Syiah di Indonesia sama seperti Syiah di Iran," tegas Jalaluddin, yang saat ini menjadi calon legislatif dari PDI Perjuangan.

Alasannya, menurutnya, Iran sudah ratusan tahun menjalankan peradaban Syiah, sementara akar budaya Indonesia adalah Sunni.


Orang-orang Syiah itu tahu, mereka jumlahnya sedikit, dan tidak pernah orang yang sedikit punya maksud untuk mendirikan negara Syiah, kecuali kalau orang Syiah-nya itu bloon (bodoh).

"Jadi tidak mungkin Indonesia menjadi negara Syiah seperti di Iran, karena kita tidak punya akar budaya yang cukup dalam mazhab Syiah," paparnya.

Lagi pula, lanjutnya, pengikut Syiah di Indonesia jumlahnya minoritas. "Orang-orang Syiah itu tahu, mereka jumlahnya sedikit, dan tidak pernah orang yang sedikit punya maksud untuk mendirikan negara Syiah, kecuali kalau orang Syiah-nya itu bloon(bodoh)," katanya dengan mimik serius.

"Malah," demikian Jalaluddin, "saya melihat orang-orang Syiah sangat menghormati Pancasila."

"Karena mereka tahu, hidup di negara Pancasila lebih damai buat mereka, ketimbang hidup di negara Islam, yang Islam-nya versi tertentu, apalagi kalau versi Islam-nya itu takfiri yang mengkafirkan".



Syiah tidak memiliki masjid

Walaupun belum ada penelitian yang bisa dibuktikan secara ilmiah, ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa sebagian kaum Syiah di Indonesia, belakangan menutup diri dari lingkungannya.

"Saya kira kelompok Syiah yang eksklusif itu sangat kecil," jawab Jalaluddin, menjawab pertanyaan saya tentang anggapan seperti itu.

Sebaliknya, menurutnya, kebanyakan warga Syiah di Indonesia tidak eksklusif. Mereka bergabung dengan kaum Sunni yang mayoritas dalam berbagai aktivitasnya, termasuk dalam beribadah, kata Jalaluddin.

"Banyak misalnya orang-orang Ijabi menjadi khotib di masjid-masjid Sunni, banyak yang menjadi pengurus masjid, dan orang-orang tidak mengenalnya sebagai Syiah," ungkapnya.

"Jadi, begitu tidak eksklusifnya, sampai mereka tidak kelihatan. Itu yang disebut Takiah," ungkapnya, seraya menjelaskan bahwa yang disebut Takiah itu adalah "berusaha tidak menampakkan ajarannya sendiri apabila diduga akan menimbulkan konflik".


Banyak misalnya orang-orang Ijabi menjadi khotib di masjid-masjid Sunni, banyak yang menjadi pengurus masjid, dan orang-orang tidak mengenalnya sebagai Syiah.

Sehingga, lanjutnya, orang-orang Syiah Indonesia yang tergabung dalam Ijabi, tidak memiliki masjid.

"Karena, masjid kaum muslimin itu adalah masjid kita," akunya. "Kalau kita mulai bikin masjid Syiah, kita jadi eksklusif".

Namun demikian, Jalaluddin mengaku "ada masa-masa ketika kelompok-kelompok Syiah suatu saat menjadi eksklusif terlebih dulu, tapi setelah itu akan menjadi pluralistik lagi..."

"Biasalah dalam istilah sosiologi di AS, itu disebut greenhorn (orang yang belum berpengalaman, atau orang yang masih hijau). Itu yang tanduknya masih hijau, masih sering menyeruduk ke sana-kemari, tapi kalau tanduknya sudah grey (abu-abu), dia tidak lagi dengan sikap seradak-seruduk seperti itu," kata Jalaluddin, seraya tertawa tipis.



Sayap Syiah fikih

"Itu adalah hak setiap warga negara," kata Jalaluddin Rakhmat, saat saya menanyakan kebenaran informasi yang menyebut saat ini ada kecenderungan gerakan Syiah di Indonesia lebih mengedepankan pendekatan fikih.

Tetapi, sambungnya, pengembangan ajaran fikih Syiah itu diajarkan dan dipraktekkan secara khusus di pesantren milik mereka sendiri. "(Di pesantren mereka sendiri), mereka bisa mengembangkan ajaran fikih mereka secara khusus."

Sebaliknya, secara keseluruhan, kaum Syiah di Indonesia menempatkan diri sebagai bagian dari umat Islam. "Di hadapan masyarakat pada umumnya, kita menampakkan wajah yang dipenuhi dengan perasaan persatuan," akunya.

Jalaluddin mengakui, saat ini ada dua organisasi yang mewadahi kaum Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, yang dia dirikan pada tahun 2000 lalu, dan Ahlulbait Indonesia, atau ABI, yang didirikan belakangan.

Diakuinya, saat ini ada penilaian bahwa seolah-seolah dua organisasi itu mewakili antara sayap intelektual dan sayap fikih.

Tapi, "kita sudah jalin kerjasama," kata Jalaluddin.

"Buat kita sekarang," sambungnya, dengan nada diplomatis, "ada dua sayap, sayap intelektual dan sayap fikih, atau sayap sufi dan sayap fikih. Kita bisa terbang dengan kedua sayap ini." ###

Jumat, 17 Oktober 2014

GP ANSOR HARUS MAMPU BEKERJA SAMA DENGAN PEMERINTAH: NUSRON WAHID

Ketua GP Ansor Pusat, Nusron Wahid

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diharapkan mampu bekerja sama dengan pemerintah secara kritis di semua tingkatan. GP Ansor harus bisa mewarnai dinamikia daerah masing-masing dengan tetap membawa pesan moral dan ciri-khas ke-NU an yang tidak boleh ditinggalkan. 

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor,  Nusron Wahid pada acara pelantikan Pimpinan Wilayah GP Ansor Provinsi Jawa Tengah, belum lama ini. Ia mengatakan, GP Ansor harus selalu dekat dengan jajaran pengurus NU baik secara struktural maupun kultur gerakannya. 

Lebih jauh Ia mengatakan, bahwa setiap zaman akan menghadirkan persoalan dan tantangan yang berbeda. Dan untuk itu, GP Ansor harus selalu siap dengan situasi zaman seperti apapun.

Menurut Nusron Wahid, politisi Partai Golkar yang akhir-akhir ini sering bersebrangan dengan pimpinan partainya itu, kiprah pemuda NU sangat dibutuhkan di masa mendatang. GP Ansor dituntut mampu menjadi solusi bagi tantangan NU ke depan.

"Kita sebagai kader yang paling dekat dengan NU, sudah seharusnya bisa menjawab NU masa depan, bukan (sekadar) menjadi masa depan NU. Menjawab NU masa depan artinya harus bisa melakukan koreksi, mencari titik kesalahan dari para pendahulu-pendahulu NU, untuk menjadikan NU lebih baik,” kata Nusron Wahid seperti dikutip oleh NU.Or.Id

Nusron mengatakan, GP Ansor mesti bisa menjadi pergerakan bagi perubahan jam’iyah Nahdlatul Ulama ke arah lebih baik. Ia menyebut GP Ansor sebagai “anak tertua” di lingkungan ormas Islam terbesar ini.

Nusron mengimbau seluruh kader dapat mandiri secara ekonomi dan mengembangkannya untuk masyarakat sehingga dampak kesenjangan sosial dapat teratasi dan terkurangi. ###

Rabu, 15 Oktober 2014

IPPNU di Tingkat ASEAN : Membanggakan


JAKARTA;-Gerakan anak-anak muda NU tidak saja di level nasional namun juga di tingkat Internasional. Hal ini tentu membanggakan dan perlu terus ditingkatkan terutama dalam ikut mengkampanyekan Islam Damai. Kampanye Islam Damai di mata Internasional oleh NU sangat diperlukan untuk merubah citra buruk akibat ulah gerakan-gerakan Islam radikal yang selalu mengatasnamakan Islam dalam setiap aksinya. 

Salah satu kader muda NU yang berprestasi di tingkat internasional adalah IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama) yang belum lama ini meraih penghargaan di forum pemuda ASEA di Brunei Darussalam. 

Delagasi IPPNU , Walmah Ni’maturrohmah menghadiri forum pertemuan pemuda ASEAN di Brunei Darussalam. Walmah mewakili IPPNU menerima penghargaan dari forum pemuda ASEAN atas gerakan-gerakan nyata pemberdayaan IPPNU di kalangan pelajar putri di Indonesia.

Kalangan pemuda di Asia memperhitungkan IPPNU karena program-program kerja IPPNU dinilai tepat sasaran sesuai kebutuhan zamannya.

“Sudah banyak program kita bergulir. Sebutlah kerja sama kami dengan BNN. Kita membentuk gerakan 1000 laskar pelajar putri NU anti narkoba, aksi damai 1000 bunga, apel akbar 5000 laskar pelajar putri anti radikalisme,” kata Walmah yang kini dipercaya sebagai Ketua IPPNU Bidang Hubungan Masyarakat dan Pesantren, Senin (13/10), seperti dilaporkan NU Online.

Walmah menyadari, gerakan IPPNU selama ini belum maksimal. Hanya saja, menurutnya, pihaknya akan terus memperbaiki dan meningkatkan gerakan perubahan pelajar di Indonesia untuk menjadi lebih baik.

Forum pertemuan pelajar sekawasan Asia ini berlangsung di Brunei Darussalam, Rabu-Sabtu (8-11/10). Pada forum ini tampak hadir utusan sejumlah organisasi pelajar asal Indonesia, Vietnam, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Filipina, dan Thailand ###

NU Ajarkan Islam Damai Beda dengan Islam Wahaby

Mbah KH.Hasyim As'ary, Pendiri NU. 

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia selalu mengajarkan perdamaian dan hidup rukun dengan agama lain. NU sangat menghargai perbedaan dan mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. 

Untuk itu NU sangat berbeda dengan gerakan Islam Garis Keras atau Wahaby yang selalu mendengungkan pembentukan negara Islam di mana-mana. Selain itu kaum wahaby ini juga sering mengartikan salah tentang jihad yang dimaknai sebagai perang melawan kelompok di luar kelompoknya. 

Wakil Ketua PBNU H Asad Said Ali  mengajak umat NU untuk waspada terhadap gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama. Asad menyebutkan pemahaman soal kepemimpinan, jihad, dan kafir yang membedakan secara terang antara NU dan gerakan ekstrem.

H Asad dalam satu kesempatan di Yogyakarta, yakni di halaman SDNU Yogyakarta, di hadapan Jama'ah haji Indonesia, belum lama ini , mengatakan, “Ada tiga perbedaan mendasar antara NU dan gerakan Islam radikal seperti ISIS, Al-Qaeda dan kawan-kawannya. Pertama, soal Imamah atau kepemimpinan. Kalau kita Nahdlatul Ulama, terserah memilih bentuk kepemimpinan seperti apa, yang penting cocok. Di Indonesia kita memilih bentuk demokrasi. Kalau mereka, kepemimpinan harus khilafah”, kata H Asad , seperti dilaporkan NU Online.

Untuk soal jihad, mereka memahaminya sekadar perang. Menurut pemahaman mereka, setelah turun surat at-Taubah tentang perintah perang, ayat-ayat tentang jihad dakwah dan jihad melawan hawa nafsu otomatis terhapus.

Sebelum menyebutkan soal ketiga, H Asad mengajak warga untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gerakan berbahaya. “Namun upaya memberantas gerakan ekstrem Islam di Indonesia tidaklah sulit asalkan pemerintah Indonesia berani bertindak tegas,” kata Asad.

Mereka, Asad melanjutkan, dengan mudah mengafirkan siapa saja yang tidak sejalan dengan pikiran dan idealisme mereka. Siapa yang tidak berjuang mendirikan khilafah Islamiyah seperti mereka, akan dituduh kafir.

Setelah menjelaskan beberapa hal tentang ISIS dan gerakan Islam radikal, H As'ad berpesan kepada para ibu-ibu yang aktif di Muslimat atau Fatayat NU untuk mendidik dan menjaga anak-anak mereka sejak dini. ###

GEMASABA NU Minta Pemerintah Bubarkan HTI

Para aktifis HTI saat meggelar Muktamar Khilafah di Jakarta, Juni 2013 lalu

Hizbut Tahrir Indonesia( HTI) adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang menganut paham radikal dalam memahami agamanya. Radikalisme pemahamannya diantaranya adalah pada masalah konsep kenegaraan. Mereka memahami bahwa negara yang benar adalah Negara Islam berdasarkan hukum al-Quran. 

Untuk itu cita-cita mereka adalah merubah negara yang ada menjadi negara Islam, termasuk Indonesia. Mereka sudah terang-terangana menyuarakan pembentukan Negara Islam Indonesia di banyak kesempatan, termasuk yang terbesar di Gelora Bungkarno, Jakarta beberapa waktu lalu dengan konsep yang mereka sebut Khilafah. Ada Puluhan ribu anggotanya yang hadir pada acara muktamr khilafah , Juni 2013 lalu. 

Oleh karena itu, sejumlah aktifis perdamaian yang menginginkan Indonesia tetap utuh menjadi NKRI damai dalam banyak perbedaan ini secara tegas menolak gerakan HTI ini. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia bersikap tegas atas fenomena HTI dengan membubarkannya.

Salah satunya adalah para aktifis sayap NU (Nahdlatul Ulama) yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) yang menolak tegas akan gerakan khilafah HTI ini. 

Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (DPN Gemasaba) menilai keberadaan dan aktivitas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) membahayakan keutuhan NKRI. Karena itu, Gemasaba mendesak pemerintah agar segera membubarkan organisasi transnasional ini.

Ketua Umum DPN Gemasaba Ghozali Munir menyampaikan hal tersebut di kantor DPP PKB, Jakarta beberapa waktu lalu.  "Keberadaan Hizbut Tahrir atau organisasi makar yg bercita-cita mendirikan khilafah di bumi Indonesia sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI dan pemerintah harus segera membubarkannya," tegas Ghozali seperti dilaporkan NU Online.

Menurut Ghozali, Hizbut Tahrir tidak layak hidup di bumi Indonesia karena pancasila sebagai dasar negara sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, lanjutnya, cita-cita Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah di Indonesia termasuk tindakan makar.

"Jika pancasila diubah maka Indonesia akan bubar. Ide khilafah adalah ide bodoh dan kurang ajar. Mereka tidak ikut berjuang mengusir penjajah, tetapi tiba-tiba datang sambil menikmati indahnya kemerdekaan dan kebebasan demokrasi tetapi ingin menghancurkannya dan menggantinya dengan ide khilafah yang absurd," ujar Ghozali bernada geram.

Lebih jauh menurut Ghozali, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah memakai ide khilafah sepihak dalam mendirikan negara, akan tetapi memakai satu konstitusi yang disusun bersama seluruh elemen bangsa yang bernama Piagam Madinah. Posisi Pancasila adalah sama persis dengan piagam madinah yang dipraktikkan Nabi.

Ghozali menambahkan, sebagai tindakan konkret penolakan Gemasaba atas Hizbut Tahrir, DPN Gemasaba telah memasang berbagai spanduk di berbagai sudut ibukota yang isinya menyadarkan masyarakat akan bahaya Hizbut Tahrir.

"Kami dalam waktu dekat juga akan mengirim surat resmi kepada Kesbangpol Depdagri (Kementerian Dalam Negeri, red) dengan tuntutan agar pemerintah segera membubarkan Hizbut Tahrir," pungkasnya. ###

KH. MASDAR FARID MAS'UDI : Al-Quran Tidak Pernah Mengajarkan Pembentukan Negara Islam

     KH.MASDAR FARID MAS'UDI , PBNU. foto: NU online

JAKARTA;JI-Gerakan Islam radikal memahami khilafah sebagai kepemimpinan Negara Islam secara tunggal di muka bumi ini. Oleh karena itu Ia menginginkan pembentukan negara-negara Islam dan berusaha merobohkan bangunan negara yang sudah mapan. Menurut mereka negara yang tidak berpedoman pada Hukum Al-Quran dianggapnya sebagai negara kafir sehingga perlu untuk dilawan dan dirobohkan, termasuk Indonesia. 

Pemahaman semacam itu menurut, KH. Masdar Farid Mas'udi, Rais Syuriyah PBNU adalah sebuah kesalahan besar. Karna al-Quran sendiri menurutnya tidak pernah mengajarkan demikian. Tuhan dalam kitab-Nya itu tidak pernah menyebut sama sekali konsep negara Islam dengan sistem khilafah tersebut. 

Menurut KH. Masdar F Mas’udi,  memandang para pegiat kekuasaan Islam telah gagal memahami konsep khilafah itu sendiri. Ciri global dan eksklusif dari mereka, menandai kekeliruan paham secara serius.

“Dikiranya khilafah itu konsep kekuasaan politik global di satu pihak dan sektarian di pihak lain,” kata Kiai Masdar pada rapat persiapan Munas-Konbes NU 2014 di Gedung PBNU, Selasa (14/10) seperti dilansir oleh NU online( nu.or.id)

Padahal menurutnya, kalau melihat surat Al-Baqarah ayat 30, “khalifah” lebih merujuk pada posisi dan peran yang dimandatkan Allah SWT kepada Nabi Adam dan anak cucunya untuk meneruskan karya-karya-Nya di muka bumi baik yang menyangkut material, sosial, maupun etika-moral.

Khilafah sosial-politik, kata Kiai Masdar, sama sekali tidak mempersyaratkan hadirnya negara dunia yang mewadahi kekhalifahan tunggal sebagaimana doktrin politik yang diusung pegiat khilafah belakangan ini.

Sementara peran kekhilfahan Allah secara individu atau secara sosial menuntut manusia bergaul dengan setara tanpa melihat unsur-unsur SARA di dalamnya. Artinya, siapa yang jujur, cerdas, dan bertanggung jawab pasti akan dianugerahkan kesuksesan oleh Allah, tandas Kiai Masdar. ###

Kamis, 09 Oktober 2014

NU dan Negara Islam (2)

Pemikiran Gus Dur



Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Ketika berada di Makasar dalam minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio kawasan tersebut, yang di relai oleh studio-studio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam (NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar yang dinyatakan meninggal dalam paruh kedua tahun-tahun 50-an, ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang NI seperti Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orang-orang yang berpikiran seperti itu.

Dalam dialog interaktif tang terjadi setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka di muka umum tentang gagasan tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus dipikirkan, seperti pengaruh dari berbagai kawasan dunia Islam yang juga di dasarkan pada kadar pengetahuan agama yang rendah.

Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar melihat tantangan modernisasi terhadap lembaga/institusi ke-Islam-an, membuat mereka melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu ditekankan pada aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum muslimin. Pihak-pihak lain yang non-Muslim juga mengalami pendangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/ kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya kekhawatiran demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan mereka. Cara hidup, membaca Al-Qur'an dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk "seni Islam" dan lain-lainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri kaum Muslimin.

Salah sebuah pertanyaan dalam dialog interaktif itu adalah kutipan Al-Qur'an "Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir " (Wa Man lam Yahkum Bima Anzala Allah Fa-hula Ika Hum al-Kafirun). Lalu bagaimana mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawabnya, karena ada masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar melaksanakan hukum Allah, maka negara dapat saja ditinggalkan. Untuk memelihara prularitas bangsa, tidak ada kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam dalam soal wajib adanya gagasan mendirikan NI.

Netralitas ini sangat penting untuk di junjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah negara kesatuan Republik Indonesia dapat didirikan. Dengan gagasan mendirikan NI, maka pihak minoritas -baik minoritas agama maupun minoritas lain-lainnya-, tidak mau berada dalam sebuah negara dan menjadi bagian dari negara tersebut. 


Dengan demikian, yang dinamakan Republik Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan, karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi. Bengkulu., Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku yang lain-lainnya, berada di luar susunan kenegaraan, karena berdasarkan agama seperti itu.

Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad, yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang sangat mendasar: pernyataan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum Muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama Jawa -Timoer (MBODT) di Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacam-macam untuk mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara kependudukan Belanda di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.

*****

Perkembangan sejarah setelah itu menunjukakan bahwa agama Islam tidak berkurang peranannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjatan terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.

Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum Muslimin. Ini berbeda dari bangsa-bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar kaum "Muslimin statistik" atau lebih di kenal dengan sebutan "Muslim abangan". Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama "kaum santri" masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.

Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci Al-Qur'an yang di sebutkan diatas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orang-orang non-Muslim. Sebuah diktum mengemukakan, "Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka" (Man sabaha bi Qoimin fahuwa min Hum). Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.

Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum Muslim menegakkan ajaran-ajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. Ini adalah sebuah disiplin intern yang patut di kagumi, mudah kedengarannya tetapi sulit dilaksanakan bukan? ###
___________
Penulis adalah Presiden Republik Indonesia ke-4

Seperti tulisan aslinya yang ada  di gusdur.net mengenai Pemikiran Gus Dur

NU dan NEGARA ISLAM (1)


Oleh KH. Abdurrahman Wahid

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya mengenai NI. Ini juga berarti, keinginntahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata lain, masalah pendapat NU sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan sudah menjadi "bagian" dari kesadaran umum bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.

Dalam sebuah tesis MA -yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul, yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahtsul al-masa'il (pembahasan masalah). Salah sebuah masalah yang diajukan kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang non-muslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul "Bughyah al-Mustarsyidin".

Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya "pimpinan berbilang" (ta'addud al-a'immah), yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur'an dengan Firman Allah; "Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal" (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qaba'ila li ta'arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: "Berpeganglah kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan" (wa'tashimu bi habli Allahi jami'an wa la tafarraqu).

*****

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam -menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di antara para warga negara, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari'ah Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; "Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan Islam "sebagai" agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. Demikian pula, Firman Allah; "Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan" (Udkhulu fi al-silmi kaffah). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; "Orang yang tidak "mengeluarkan" fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-" (Wa man lam yahkum bima anzala Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum'at, juga tidak karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari'at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari'ah Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

*****

Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang "berakal sehat" tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh wangsa yang berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, pertentangan pendapat antara "pandangan kaum Wahabi" yang secara de facto demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama pada "pihak seberang".

Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yanag semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan? ###

________

Dipublikasikan kembali sesuai aslinya dari serial  Pemikiran Gus Dur di, Gusdur.net.

Minggu, 05 Oktober 2014

NU , Ken-KMP dan Keris Empu Gandring

                   
                               foto ilustrasi Keris Mpu Gandring

Ingat atau pernah mendengar Kisah Keris Empu Gandring di era Kerajaan Singasari dulu ? Empu pembikin Keris sakti Ken Arok yang kemudian tewas oleh kerisnya sendiri ?  Keris itu sekarang bernama Pilkada tidak langsung, dan Empu Gandring itu mirip dengan PBNU. Dan siapa Ken Aroknya ? siapa lagi kalau bukan Koalisi Merah Padam.

NU memang menjadi makhluk yang sangat "sexy" pada setiap moment politik. Sebelumnya sudah sexy namuan bertambah sexy sekali di event-event pemilu. Karna kecantikannya itulah NU menjadi rebutan kepentingan politik di mana-mana. Tokoh-tokoh partai yang sebelumnya tidak pernah tahlilan sekalipun ketika masa kampanye akan menjadi sangat NU ketimbang para santri itu sendiri.

Tidak terkecuali pada saat pro kontra mengenai UU Pilkada langsung atau tidak langsung. NU juga menjadi hujjah dan bamper politik bagi mereka yang pro pilkada melalui DPRD ( tidak langsung). NU dijual ke mana-mana  sekaligus juga dijadikan senjata untuk menyerang orang-orang NU yang pro pilkada langsung. Para pejuang demokrasi langsung yang menjunjung tinggi hak dan kedaulatan rakyat dalam berpolitik ini dicap sebagai orang-orang NU yang tidak patuh terhadap pimpinannya, yakni para Ulama dan Kyai NU.

Lepas dari pro kontra kedua kepentingan politik ini sesungguhnya NU dengan keputusan mendukung pilkada tidak langsung itu menyimpan resiko yang besar , terutama berkaitan dengan para pemain politik yang setuju dengan pilkada tidak langsung itu. Kekuatan politik yang mendukung pilkada tidak langsung itu tidak lain adalah mereka yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih ( Gerindra, PKS, PPP, PAN, Golkar dan Demokrat). Dari komposisi koalisi itu yang paling dominan bersuara adalah PKS.

Jika Pilkada tidak langsung yang diusung oleh NU itu adalah murni tanpa tendensi politik sesaat, demi kemaslahatan umat saja, beda dengan kepentingan KMP yang jelas memiliki target politik tertentu. Menurut penulis bermuatan dendam politik atas kekalahan Prabowo dalam Pilpres lalu. KMP mendesain pilkada tidak langsung dengan pendapat-pendapat manis atas nama keuangan negara dan menghindarkan perilaku korupsi para kepala daerah.


Namun tentu semua orang paham bahwa argumentasi itu adalah sengaja dibangun untuk mengkamuflasekan kepentingan politiknya, yang ingin menciptakan gubernur-gubernur dan bupati atau walikota dari partainya. Karena jika KMP solid, mereka sudah mengkalkulasi bahwa mayoritas propinsi dan kabupaten akan mampu dikuasainya. Dengan menguasai pimpinan daerah itu selanjutnya tentu saja akan dipakai menjadi senjata kuat untuk melawan pemerintah Jokowi-JK. 

Saat ini pun dengan kepintarannya, KMP mampu menguasai pimpinan parlemen di DPR RI, dengan proses yang menurut penulis maaf sangat memalukan demokrasi di Tanah Air. Boleh kita tunggu bersama, biar nanti waktu yang akan menjawabnya, apakah kekuatan mereka di legislatif dalam kerangka bersama Jokowi membangun Indonesia, ataukah dalam rangka melancarkan balas dendam politinya ?


Nah jadi jelas sekali bedanya antara muatan yang dikandung oleh PBNU dengan hasil Munasnya itu dengan motif politik KMP atas nama pilkada tidak langsung itu bukan ? Beda juga dengan Keputusan Muhammadiyah yang mendukung pilkada tidak langsung baru kemarin sore ketika parpol miliknya (PAN) berada di dibarisan KMP.


Munas PBNU itu dilakukan dua tahun lalu sebelum hiruk pikuk politik terjadi di Tanah Air, sebelum Pemilu Legislatif ,sebelum Pilpres dan Sebelum Koalisi Merah Padam itu lahir. Jadi tentu saja tanpa pamrih politik praktis. Karna para Kyai NU itu memang sudah mendedikasikan perjuangannya untuk Bangsa Indonesia sejak lama sekali. Bahkan pada 1945 , PBNU pernah mengeluarkan Resolusi Jihad NU demi melawan tentara Sekutu dan Belanda yang akan merebut kemerdekaan Bangsa ini. Dan Resolusi Jihad ini adalah murni hasil (mungkin kalau konteks sekarang sama seperti Munas tersebut) tanpa ada campur tangan politik negara saat itu.

PILKADA TIDAK LANGSUNG dan KERIS EMPU GANDRING


Di tangan orang-orang yang tulus mengurusi negara, tanpa hasrat kekuasaan apalagi dendam politik, pilkada langsung ataupun tidak saya rasa tidak akan menjadi masalah apapun. Namun ditangan pendendam senjata yang tajam pasti akan sangat berbahaya. Pun sebaliknya akan sangat bermanfaat jika berada di tangan orang yang bijak untuk digunakan sebagaimana mestinya.


Merujuk pada sejarah Kerajaan Singasari dulu, Empu Gandring yang sakti itu tidak tau menau tentang Keris yang dipesan oleh Ken Arok akan digunakan untuk apa. Empu Gandring hanya melakukan pekerjaannya sebagai suhu bagaimana bisa memuaskan pemesannya dengan harapan bisa digunakan sebagai senjata yang baik. Keris sakti sebagaimana pesanan Ken Arok ternyata digunakan sebaliknya oleh Ken Arok dan bahkan tragis kemudian digunakan untuk membunuh sang Empu pencipta Keris tersebut.


Pilkada tidak langsung yang jauh-jauh hari didengungkan dan dibuat keputusan oleh PBNU, jika benar nanti diberlakukan, menurut saya berpotensi seperti Keris Empu Gandring yang makan tuannya. Keris Pilkada tidak langsung PBNU itu bisa-bisa "membunuh" PBNU dan warganya atas kekerasan dan kekakuan kaum wahaby  yang secara politik berada dalam tubuh PKS. Kemudian  semua orang tau bukankah  PKS sangatlah mendominasi Koalisi Merah Putih tersebut? 


Dan warga NU di Tanah Air saat ini bisa dibilang sudah mencapai puncak kejengkelan atas pengkafiran, pembidngahan dan penyesatan yang dilakukan oleh kelompok kelompok  Salafy-wahaby ini.


Kejadian barikutnya mudah bisa diramalkan ketika politik garis keras ini mendominasi bangsa dan negara dengan pimpinan-pimpinan daerah yang mereka miliki didukung oleh kekuatan Parlemennya yang saat ini berkuasa. Bukan tidak mungkin melalui undang-undang yang akan mereka buat  sengaja ada yang ditujukan untuk memberangus ajaran-ajaran Empu PBNU di seluruh Indonesia. Begitupun dengan alokasi anggaran APBN dan APBD , bukan tidak mungkian akan digunakan untuk membesarkan misinya. Masih ingat kasus Korupsi Sapi ?


Nah bukankah itu tidak mustahil dan bukankah penyelasan itu sering-sering datangnya di akhir waktu ? Namun apadaya Keris Empu PBNU bernama Pilkada tidak langsugn itu terlanjur disambar oleh KMP. Mudah-mudahan kekejaman Ken Arok tidak menurun kepada para politisi kita yang saat ini memegang keris pilkada tersebut. Jika ternyata ikut kejam seperti Ken Arok, maka keris itupun niscaya akan membunuh sang pemilik sebagaimana kutukan Empu Gandring. Wallohu'alam. ###


_____ heheh serius banget ya, salam NKRI harga Mati ___ ! (agus maryono , warga NU Banyumas)

Sabtu, 04 Oktober 2014



Singernya Sederhana sekali, Namun SUARANYA , menurut saya tidak bisa dibilang sederhana. #merdu

Iqoba Merdu dan Lucu Banget


Mari Bershalawat , Menghibur Hati . IQOBA BANTEN. Mantep Bro...

ROBITHOH

Suatu hari ini saya  merasakan sebuah  kejenuhan yang entah dari mana sumbernya. Saya tidak tau persis mengapa itu terjadi. Tiba-tiba perasaan rindu kepada dua orang tua yang tinggal di kampung muncul begitu saja. Tidak jauh rumah yang saya tempati di Purwokerto dengan rumah orang tua di Cilacap. Jika lancar , satu jam perjalanan adalah jarak tempuh cukup santai.

Saya pun memutuskan untuk pulang kampung untuk sowan kepada kedua  orang tua ,khususnya Ibu yang sering memunculkan rasa kangen itu. Sebenarnya belum lama, saya mengunjunginya sebelum ini, kurang lebih satu bulanan.

Begitu sampai di tanah kelahiran, ternyata Ibu saya juga dalam kondisi mengharapkan saya pulang. Mereka mengatakan sudah sejak kemarin ngarep-arep kedatangan saya. Ohh..ternyata....ini dia penyebab kegundahan hati yang sejak kemarin saya rasakan , sekarang ketemu jawabannya.  Yakni, dirindukan oleh orang tua tercinta yang paling dekat secara lahir dan batin.

Dan benar saja sejak mencium tangan Ibu,  kejenuhan seketika lenyap, hati rasanya bugar, perasaan pun kembali fress plong rasanya. Gumpalan yang menyumbat perasaan itu sudah pergi entah ke mana pula. Alhamdulillah.

Intinya, bahwa perasaan yang kuat dari orang-orang yang kita cintai , memang bisa nyetrum (bahasa jawa), terhadap hati  kita. Apalagi jika kita juga mencintai orang tersebut, maka tingkat sensitifitasnya akan lebih tajam.

Ibnul Qoyim al-Jauziyah dalam bukunya yang membahas tentang Ruh manusia, diantaranya mengatakan, bahwa ruh itu adalah sesuatu yang sangat halus, yang sangat mudah mempengaruhi satu sama lain. Bahkan ruh itu menurutnyaa bisa langsung merasakan terhadap orang-orang yang setipe dan yang berlawanan atau berpotensi bermusuhan dalam sekali pertemuan.

Nah , kondisi ruh manusia yang halus inilah yang mudah berinteraksi inilah kiranya bisa menjelaskan tentang ajaran "Robithoh" dalam pendidikan Thariqat. Robithoh adalah upaya mengkoneksikan diri dengan Guru Mursyidnya dengan cara membayangkan wajah Guru Mursyid. Dan kekuatan robithoh ini sangat membantu murid dalam menempuh perjalanan spiritualnya. Dengan seringnya ruh sang murid yang masih lemah melakukan koneksi  dengan ruh guru yang sudah kuat, memungkinkannya untuk menjadi mudah menapaki beratnya dzikir. Dengan koneksi itu pula memungkinkan kekuatan jahat yang akan mengganggu sang murid bisa diatasi dengan bantuan guru kendati secara fisik jaraknya mungkin ribuan kilometer.  Mudah saja dipahami, kabel listrik buatan manusia walaupun jauh  bisa menyalakan lampu neon yang jaraknya ribuan km.

Nah , apalagi ruh manusia Ciptaan Yang Maha Perkasa , akan jauh lebih cepat dan kuat dari barang-barang buatan manusia itu. Wallohu A'alam. ###  ___

Lebih jauh mengenai hal yang berkaitan dengan thariqat silahkan bisa mengunjungi  link : dunia thariqat  yang bisa di akses dari halaman ini juga. atau : tentangthariqat.blogspot.com. Sisi Thariqat

Jumat, 03 Oktober 2014

Kisah POLISI NU

Alkisah Pak Polisi dan Seorang Pengikut Wahaby Bawel.
(story from facebook: Yokam Sang Penghibur)

Foto, Ilustrasi (Republika.com)

WAHABY : Pak polisi, di tempat saya ada acara maulidan tolong dibubarkan.
POLISI : Apakah di sana terjadi perkelahian
WAHABY : Gak pak

POLISI : Apakah di sana terjadi pembunuhan
WAHABY : Gak pak

POLISI : Apakah di sana terjadi perjudian
WAHABY : Gak pak

POLISI : Apakah di sana terjadi pencurian
WAHABY : Gak pak

POLISI : Kalau di sana tidak terjadi apa2, lalu atas dasar apa saya harus membubarkan maulidan.
WAHABY : Masalahnya maulidan itu tidak ada perintah dari nabi.

POLISI : Oh gitu ya? Emm, apakah nabi memerintahkan kalian untuk membubarkan maulidan.
WAHABY : Gak pak.

POLISI : Lalu kalian mau membubarkan maulidan atas perintah siapa.
WAHABY : Kata pak ustad saya, maulidan itu bid'ah pak karna tdk ada perintahnya dari nabi.

POLISI : Kalau begitu kamu juga bid'ah dong, karna membubarkan maulid kan juga tdk ada perintah dari nabi.

WAHABY : Saya ini anti bid'ah pak, Jadi gak mungkin saya melakukan bid'ah.

POLISI : Lha tadi katanya kalau tdk ada perintah dari nabi berarti bid'ah. Nah membubarkan maulid kan tidak ada perintahnya dari nabi. Berarti kan bid'ah. Emangnya apa sih isi didalam acara maulidan. Kok kalian minta dibubarkan. Kalian kan orang islam.

WAHABY : Iya dong kami orang islam sejati penegak sunah pembasmi bid'ah. Di acara maulid itu isinya membaca sholawat, membaca alqur'an, mendengarkan tausyiah, mendengarkan kisah nabi, dan makan bersama.

POLISI : Loh membaca sholawat kan ada perintahnya. Membaca alqur'an kan ada perintahnya. Mendengarkan tausyiah kan ada perintahnya. Mendengarkan kisah nabi kan baik untuk pengetahuan sejarah islam. Makan bersama juga baik untk ukhuwah islamiyah. Lalu apanya yg salah dan harus dibubarkan.

WAHABY : Masalahnya mereka itu berisik sekali pak. Telinga saya panas.

POLISI : Kamu ini ada2 saja. Masa ngaku islam penegak sunah, denger baca'an sholawat, Alqur'an, sejarah nabi, Tausyiah. Kok merasa terganggu dan kepanasan. Aneh sekali kamu.

WAHABY : Tapi pak.
POLISI : Udah gak usah pake tapi tapian. Dari tadi kamu brisik, skrg kamu yang saya bubarkan............
________